Rabu, 10 Juli 2013

Faktor – faktor yang mempengaruhi pemeriksaan kehamilan

Menurut Depkes RI (2008)  faktor – faktor yang mempengaruhi pemeriksaan kehamilan ialah :
1.    Faktor internal
a.         Paritas
Ibu yang pernah melahirkan mempunyai pengalaman tentang antenatal care, sehingga dari pengalaman yang terdahulu kembali dilakukan untuk menjaga kesehatan kehamilannya.
b.        Usia
Semakin cukup umur, tingkat kematangan seseorang akan lebih di percaya dari pada orang yang belum cukup tinggi kedewasaanya, jika kematangan usia seseorang cukup tinggi, maka pola berfikir seseorang akan lebih dewasa. Ibu yang mempunyai usia produktif akan lebih berpikir secara rasional dan matang tentang pentingnya melakukan pemeriksaan kehamilan.
Menurut Simkin (2008), menjelaskan bahwa statistik menunjukkan bahwa usia yang paling menguntungkan bagi wanita untuk hamil adalah antara dua puluh sampai pertengahan tiga puluh tahun. Selama periode ini, masalah yang muncul lebih sedikit dibandingkan jika wanita hamil diusia belasan, akhir tiga puluh, atau empat puluhan. Sedangkan menurut Cholil (2007), bahwa seseorang perempuan memiliki batas waktu yang baik untuk melahirkan yaitu dimulai usia 20 tahun dan akan berakhir pada 35 tahun. Usia 20 tahun dianggap awal yang baik bagi seseorang perempuan siap untuk melahirkan.
2.    Faktor eksternal
a.         Pengetahuan.
Ketidakmengertian ibu dan keluarga terhadap pentingnya pemeriksaan kehamilan berdampak pada ibu hamil tidak memeriksakan kehamilannya pada petugas kesehatan.
b.        Sikap.
Respon ibu hamil tentang pemeriksaan kehamilan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keteraturatan antenatal care. Adanya sikap lebih baik tentang antenatal care ini mencerminkan kepedulian ibu hamil terhadap kesehatan dirinya dan janin.
c.         Ekonomi.
Tingkat ekonomi akan berpengaruh terhadap kesehatan, keluarga dengan tingkat ekonomi yang rendah tidak mampu untuk menyediakan dana bagi pemeriksaan kehamilan, masalah yang timbul pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah, yaitu ibu hamil akan kekurangan energi dan protein (KEK). Hal ini disebabkan tidak mampunya keluarga untuk menyediakan kebutuhan energi dan protein yang dibutuhkan ibu selama kehamilan.
d.        Sosial budaya.
Keadaan lingkungan keluarga yang tidak mendukung akan mempengaruhi ibu dalam memeriksakan kehamilannya. Perilaku keluarga yang tidak mengijinkan seorang wanita meninggalkan rumah untuk memeriksakan kehamilannya merupakan budaya yang menghambat keteraturan kunjungan ibu hamil memeriksakan kehamilannya. Perubahan sosial budaya terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah. Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku yang dianggap menyimpang. Tatanan budaya mempengaruhi dalam keputusan ibu dalam memeriksakan kehamilan pada tenaga kesehatan.
e.         Geografis.
Letak geografis sangat menentukan terhadap pelayanan kesehatan, ditempat yang terpencil ibu hamil sulit memeriksakan kehamilannya, hal ini karena transportasi yang sulit menjangkau sampai tempat terpencil.
f.         Informasi.
Informasi adalah keseluruhan makna, dapat diartikan sebagai pemberitahuan seseorang, biasanya dilakukan oleh tenaga kesehatan. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menggugah kesadaran masyarakat terhadap suatu inovasi yang berpengaruh terhadap perilaku, biasanya melalui media massa. Ibu yang pernah mendapatkan informasi tentang antenatal care dari tenaga kesehatan, media massa, maupun media elektronik akan meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang pentingnya melakukan antenatal care, sehingga ibu dapat teratur dalam melakukan kunjungan antenatal care.
g.        Dukungan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia yang berarti sokongan dan bantuan. Disini dukungan dalam penentuan sikap seseorang berarti bantuan atau sokongan dari orang terdekat untuk melakukan kunjungan ulang. Dukungan sosial suami yang sangat diharapkan oleh sang istri antara lain suami mendambakan bayi dalam kandungan istri, suami menunjukkan kebahagiaan pada kelahiran bayi, memperhatikan kesehatan istri, mengantar dan memahami istrinya, tidak menyakiti istri, berdo’a untuk keselamatan istri dan suami menunggu ketika istri dalam proses persalinan.

Konsep Preeklampsia

Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan (Mansjoer, 2009).
Preeklampsia adalah sindrom khas kehamilan berupa penurunan perfusi organ akibat vasospasme dan pengaktifan endotel. Dalam hal ini, proteinuria adalah adanya 300 mg atau lebih protein urine per 24 jam atau 30 mg/dl (1 + pada dipstick) dalam sampel urine acak. Derajat proteinuria dapat sangat berfluktasi dalam periode 24 jam, bahkan pada kasus yang parah. Oleh karena itu, satu sampel acak mungkin gagal memperlihatkan adanya proteinuria yang signifikan. Kombinasi proteinuria plus hipertensi selama kehamilan sangat meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas perinatal (Ceveno, 2009).
Preeklampsia dan eklampsia merupakan kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin, dan selama masa nifas, yang terdiri atas trias gejala, yaitu hipertensi, proteinuria, dan edema. Kadang – kadang disertai konvulsi sampai koma. Ibu tersebut tidak menunjukkan tanda – tanda kelainan vaskuler atau hipertensi sebelumnya (Yulaikhah, 2009).
Etiologi
            Etiologi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Teori yang terkenal sebagai penyebab preeklampsia adalah teori iskemia plasenta. Akan tetapi, teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan preeklampsia.
Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia dan eklampsia adalah:
1.        Jumlah primigravida terutama primigravida muda.
2.        Distensi rahim yang berlebih, seperti hidramnion, hamil ganda, mola hidatidosa.
3.        Penyakit yang menyertai kehamilan, seperti diabetes mellitus, kegemukan.
4.        Jumlah umur ibu diatas 35 tahun.
5.        Preeklampsia berkisar antara 3% - 5% dari kehamilan yang dirawat.
(Yulaikhah, 2009).
Klasifikasi
            Klasifikasi tingkat keparahan preeklampsia dinilai berdasarkan frekuensi dan intensitas kelainan yang tercantum pada tabel 2.1 dibawah ini. Semakin parah kelainannya, semakin besar keharusan menghentikan kehamilan. Hal yang penting, perbedaan antara preeklampsia ringan dan berat dapat menyesatkan karena penyakit yang tampak ringan dapat cepat berkembang menjadi parah.
Tabel 2.1
Gangguan hipertensif selama kehamilan: indikasi keparahan.

Kelainan
Ringan
Berat
Tekanan darah diastolik
< 100 mmHg
110 mmHg atau lebih
Proteinuria
Sekelumit sampai 1 +
Menetap 2 + atau lebih
Sakit kepala
Tidak ada
Ada
Gangguan penglihatan
Tidak ada
Ada
Nyeri abdomen atas
Tidak ada
Ada
Oliguria
Tidak ada
Ada
Kejang
Tidak ada
Ada (Eklampsia)
Kreatinin serum
Normal
Meningkat
Trombositopenia
Tidak ada
Ada
Peningkatan enzim hati
Minimal
Nyata
Hambatan pertumbuhan janin
Tidak ada
Jelas
Edema paru
Tidak ada
Ada
Sumber : Kenneth J Ceveno, 2009
Manifestasi Klinis
            Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya dua dari tiga gejala, yaitu penambahan berat badan yang berlebih, edema, hipertensi, proteinuria. Penambahan berat badan yang berlebihan bila terjadi kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali. Edema terlihat sebagai peningkatan berat badan, pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau tekanan sistolik meningkat > 30 mmHg atau tekanan diastolik > 15 mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat selama 30 menit. Tekanan diastolik pada trimester kedua yang lebih dari 85 mmHg patut dicurigai sebagai bakat preeklampsia. Proteinuria bila terdapat protein sebanyak 0,3 g/l dalam urin 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan +1 atau 2; atau kadar protein ≥ 1g/l dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau urin porsi tengah, diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Disebut preeklampsia berat bila ditemukan gejala berikut :
1.        Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110mmHg.
2.        Proteinuria + ≥ 5 g/24 jam atau ≥ 3 pada tes celup.
3.        Oliguria (< 400 ml dalam 24 jam).
4.        Sakit kepala hebat atau gangguan penglihatan.
5.        Nyeri epigastrium dan ikterus.
6.        Edema paru atau sianosis.
7.        Trombositopenia.
8.        Pertumbuhan janin terhambat.
Diagnosis eklampsia ditegakkan berdasarkan gejala – gejala preeklampsia disertai kejang atau koma. Sedangkan, bila terdapat gejala preeklampsia berat disertai salah satu atau beberapa gejala dari nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah – muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan tekanan darah yang progresif, dikatakan pasien tersebut menderita impending preeklampsia. Impending preeklampsia ditangani sebagai kasus eklampsia (Mansjoer, 2009).
Patofisiologi
1.      Pada preeklampsia, terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air.
2.      Pada biopsi ginjal, ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus.
3.      Pada beberapa kasus, lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel darah merah. Dengan demikian, jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, tekanan darah akan naik, dalam usaha mengatasi kenaikan tekanan ferifer agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi.
4.      Kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan dalam ruang interstitial, belum diketahui sebabnya. Mungkin karena retensi air dan garam.
5.      Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus.
Terjadinya spasme pembuluh darah arteriola menuju organ penting dalam tubuh dapat menimbulkan gangguan sebagai berikut:
1.      Gangguan metabolisme jaringan.
a.    Terjadi metabolisme anaerob lemak dan protein.
b.    Pembakaran yang tidak sempurna menyebabkan pembentukan badan keton dan asidosis.
2.      Gangguan peredaran darah dapat menimbulkan:
a.    Nekrosis (kematian jaringan).
b.    Perdarahan.
c.    Edema jaringan.
3.      Mengecilnya aliran darah menuju sirkulasi retroplasenter menimbulkan gangguan pertukaran nutrisi, CO2, dan O2 yang menyebabkan asfiksia sampai kematian janin dalam rahim.
(Yulaikhah, 2009).
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul tergantung derajat preeklampsia atau eklampsianya, antaran lain atonia uteri (uterus couvelaire), sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzimes, low platelet count), ablasi retina, KID (koagulasi intravaskular diseminata), gagal ginjal, pendarahan otak, edema paru, gagal jantung, hingga syok dan kematian (Mansjoer, 2009).
Penatalaksanaan
Pencegahan
1.      Lakukan pemeriksaan kehamilan yang teratur dan bermutu serta teliti.
2.      Waspadai kemungkinan preeklampsia jika ada faktor predisposisi.
3.      Beri penyuluhan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, diet tinggi protein, menjaga kenaikan berat badan.
Penanganan
            Tujuan utamanya adalah mencegah terjadinya preeklampsia dan eklampsia, mempertahankan janin tetap hidup, dan menciptakan seminimal mungkin trauma pada janin.
1.        Preeklampsia ringan.
a.    Istirahat ditempat tidur.
b.    Beri diet rendah garam.
c.    Beri obat penenang (valium, fenobarbital)
d.   Hindari pemberian diuretik dan antihipertensi.
e.    Pantau keadaan janin.
2.        Preeklampsia berat.
a.    Kehamilan kurang dari 37 minggu.
1)   Jika paru – paru bayi belum matang, pertahankan kehamilan.
2)   Jika paru – paru janin sudah matang, akhiri kehamilan.
b.    Kehamilan lebih dari 37 minggu.
1)   Istirahat mutlak ditempat tidur.
2)   Beri diet rendah garam dan tinggi protein.
3)   Beri suntikan magnesium sulfat (MgSO4) 8 gram IM, 4 gram pada bokong kanan dan 4 gram pada bokong kiri; suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gram setiap 4 jam; syarat pemberian (MgSO4) adalah reflek patela positif, diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir, respirasi 16 kali/menit dan harus tersedia antidotumnya, yaitu gluconan calcicus.
4)   Beri obat antihipertensi.
5)   Hindari pemberian diuretik, kecuali pada edema umum, edema paru, gagal jantung kongesti.
6)   Persingkat kala II dengan vakum atau forseps.
7)   Hindari pemberian metergin pasca partum kecuali ada perdarahan hebat.
8)   Jika ada indikasi, lakukan sectio cesarea (SC).
 (Yulaikhah, 2009).

Selasa, 09 Juli 2013

Standar Asuhan Kebidanan

1.      Standar 3    : Identifikasi ibu hamil
Melakukan kunjungan rumah dan berinteraksi dengan masyarakat secara berkala untuk penyuluhan dan motivasi untuk pemeriksaan dini dan teratur.
2.      Standar 4    : Pemeriksaan dan pemantauan antenatal care sedikitnya 4 kali pelayanan kehamilan:
a.    Satu kali pada TM I (usia kehamilan 0 – 13 minggu).
b.    Satu kali pada TM II (usia kehamilan 14 – 27 minggu).
c.    Dua kali pada TM III (usia kehamilan 28 – 40 minggu).
Pemeriksaan meliputi:
Anamnesis dan pemantauan ibu dan janin, mengenal kehamilan risiko tinggi, imunisasi, nasihat dan penyuluhan, mencatat data yang tepat setiap kunjungan, tindakan tepat untuk merujuk.
3.      Standar 5    : Palpasi abdominal.
4.      Standar 6    : Pengelolaan anemia pada kehamilan.
5.      Standar 7    : Pengelolaan dini hipertensi pada kehamilan.
6.      Standar 8    : Persiapan persalinan:
Memberi saran pada ibu hamil, suami, dan keluarga untuk memastikan persiapan persalinan bersih dan aman, persiapan transportasi, serta biaya. Bidan sebaiknya melakukan kunjungan rumah (Jannah, 2012).

Menurut Dinkes Kota Palembang (2011), untuk memberikan asuhan atau pelayanan standar minimal 11 T yaitu:
1.        Timbang berat badan setiap kunjungan (penambahan BB < 1 kg perbulan berarti ada gangguan pertumbuhan janin).
2.        Pengukuran LILA saat kontak pertama.
3.        Pengukuran tekanan darah setiap kunjungan.
4.        Mengukur tinggi fundus uteri setiap kunjungan setelah kehamilan 24 minggu.
5.        Menghitung DJJ setiap kali kunjungan mulai dari akhir trimester I (n=120–160/ menit).
6.        Menentukan presentasi janin setiap kali kunjungan mulai akhir trimester II.
7.        Memberikan imunisasi TT (sesuai status TT ibu), skrining status TT pada kontak I.
8.        Pemberian tablet Fe, minimal 90 tablet, diberikan sejak kontak pertama.
9.        Pemeriksaan laboratorium (rutin dan khusus).
10.    Tatalaksana/ penanganan kasus. Setiap kelainan yang ditemukan ditangani sesuai standar kewenangan nakes.
11.    KIE efektif, meliputi:
a.    Kesehatan ibu.
b.    PHBS.
c.    Peran suami/ keluarga dalam kehamilan dan P4K.
d.   Tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas, serta kesiapan menghadapi komplikasi.
e.    Asupan gizi simbang.
f.     Gejala penyakit menular dan tidak menular.
g.    Penawaran untuk konseling dan testing HIV didaerah risiko tinggi.
h.    IMD dan pemberian ASI eksklusif.
i.      KB pasca persalinan.
j.      Imunisasi
k.    Brain booster.
Pada unit pelayanan yang memiliki fasilitas lebih lengkap, dapat dilakukan pelayanan antenatal care dengan standar 14 T, yaitu meliputi :
1.        Penimbangan berat Badan.
Timbang  berat badan setiap kali kunjungan. Kenaikan berat badan normal pada waktu hamil ialah sebesar pada trimester I 0,5 Kg perbulan dan trimester II - III 0,5 Kg perminggu. Dengan kenaikan berat badan rata-rata sebesar 6 - 12 kg selama kehamilan, maksimal mengalami kenaikan berat badan sebesar 12 Kg dan minimal sebesar 6 - 7 Kg. Perhatikan besar kenaikan berat badan ibu, jangan sampai ibu mengalami penurunan berat badan atau jangan sampai ibu mengalami obesitas.
2.        Ukur Tekanan Darah.
Tekanan darah yang normal 110/80 – 140/90 mmHg, bila melebihi dari 140/90 mmHg perlu diwaspadai adanya preeklampsia maupun eklampsia.
3.        Ukur Tinggi Fundus Uteri (TFU):
Perhatikan ukuran TFU ibu apakah sesuai dengan umur kehamilan dimana:
a.    Usia kehamilan 12 minggu   : 3 jari diatas simfisis.
b.    Usia kehamilan 16 minggu   : Pertengahan pusat – simfisis.
c.    Usia kehamilan 20 minggu   : 3 jari di bawah pusat.
d.   Usia kehamilan 24 minggu   : Setinggi pusat.
e.    Usia kehamilan 28 minggu   : 3 jari di atas pusat.
f.     Usia kehamilan 32 minggu   : Pertengahan pusat-prosesus xiphoideus (Px).
g.    Usia kehamilan 36 minggu   : 3 jari di bawah prosesus xiphoideus (Px).
h.    Usia kehamilan 40 minggu   : Pertengahan pusat- prosesus xiphoideus (Px).
4.        Pemberian tablet Fe sebanyak 90 tablet selama kehamilan.
5.        Pemberian imunisasi TT.
Selama kehamilan bila ibu hamil statusnya T0 maka hendaknya mendapatkan minimal 2 dosis (TT1 dan TT2 dengan interval 4 minggu dan bila memungkinkan untuk mendapatkan TT3 sesudah 6 bulan berikutnya). Ibu hamil dengan status T1 diharapkan mendapatkan suntikan TT2 dan bila memungkinkan juga diberikan TT3 dengan interval 6 bulan (bukan 4 minggu / 1 bulan). Bagi bumil dengan status T2 maka bisa diberikan 1 kali suntikan bila interval suntikan sebelumnya 6 bulan. Bila statusnya T3 maka suntikan selama hamil cukup sekali dengan jarak minimal 1 tahun dari suntikan sebelumnya. Ibu hamil dengan status T4 pun dapat diberikan sekali suntikan (TT5) bila suntikan terakhir telah lebih dari satu tahun dan bagi ibu hamil dengan status T5 tidak perlu disuntik TT lagi karena mendapatkan kekebalan seumur hidup (25 tahun).
6.        Pemeriksaan Hb.
Hb pada ibu hamil tidak boleh kurang dari 11 gr% karena ditakutkan ibu akan mengalami Anemia.
7.        Pemeriksaan Venereal Desease Research Laboratory (VDRL).
8.        Perawatan payudara, pijat tekan payudara.
9.        Pemeliharaan tingkat kebugaran atau senam ibu hamil.
10.    Temu wicara dalam rangka persiapan rujukan.
11.    Pemeriksaan protein urine atas indikasi.
12.    Pemeriksaan reduksi urine atas indikasi.
13.    Pemberian terapi kapsul yodium untuk daerah endemis gondok
14.    Pemberian terapi anti malaria untuk daerah endemis malaria. 
Apabila suatu daerah tidak bisa melaksanakan 11 T atau pun 14 T sesuai kebijakan dapat dilakukan standar minimal pelayanan ANC yaitu 7 T :
1.        Timbang Berat Badan.
2.        Pengukuran Tekanan Darah.
3.        Pengukuran TFU.
4.        Imunisasi TT.
5.        Pemberian 90 Tablet Fe.
6.        Tes laboratorium.
7.        Temu Wicara